Suatu waktu ketika penulis pulang ke kampong dan berkumpul dengan teman-teman lama di warung kopi. Kami mengobrol panjang lebar tentang kehidupan masing-masing yang rata-rata belum banyak perubahan. Sampai datang “apa dolah” yang ikut duduk dalam kelompok kami dan ikut berdiskusi. Tidak lupa kami menawarinya ikut minum kopi, tapi dia tetap menolak—alasannya bukan ‘kopi’ yang bisa menyelesaikan masalahnya saat ini, tapi ‘beras’. Ketika kami desak, baru lah “apa dolah” bercerita banyak tentang kehidupan sosial ekonomi rumah tangganya. Dengan jumlah anak 7 orang, penghasilannya sebagai petani padi sawah tidak cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga, sementara tidak ada bidang pekerjaan lain yang bisa dikerjakan untuk menambah penghasilannya.
Potret kehidupan “apa dolah” setidaknya sudah cukup untuk menggambarkan kehidupan masyarakat miskin di Aceh saat ini. Bahwa mau atau tidak kita harus mengakui bahwa kemiskinan absolut (absolute poverty) masih banyak di Aceh. Padahal kelompok mereka “sangat membahayakan” bagi proses percepatan pembangunan Aceh. Inilah yang penulis maksudkan ironi bagi mereka. Disatu sisi keinginan yang kuat dari masyarakat miskin untuk keluar dari jeratan kemiskinan, sementara disisi kurangnya pengetahuan dan keahlian menyebabkan ‘mereka’ tidak dapat melakukan inovasi dalam mengembangkan jiwa entrepreneur.
Isu kemiskinan menjadi bahan pembicaraan hangat di kalangan ilmuan sosial dalam beberapa dekade terakhir (Levinsohn, 1999), terutama dengan objek pada Negara-negara dunia ketiga yang sedang membangun. Alasannya sekian lama masalah kemiskinan ini berlangsung, namun masalah kemiskinan ini tetap saja tidak tuntas, mengapa? Bahkan untuk Aceh tidak sedikit program pengentasan kemiskinan diluncurkan seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Pada saat krisis ekonomi juga telah diluncurkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Pembangunan Masyarakat Mulia Sejahtera (PMMS), Pengembangan Ekonomi Rakyat (PER), Gema Assalam dan berbagai program sosial lainnya. Pasca konflik dan tsunami juga masih banyak program lama yang masih berjalan ditambah dengan program-program baru dari NGO’s dan BRR. Pertanyaan yang masih muncul kenapa jumlah masyarakat miskin terus bertambah?
Kenyataannya memperlihatkan bahwa efektivitas dari program-program yang dilaksanakan belum optimal. Hal ini disebabkan; (a) masih banyak elemen-elemen penting yang belum lengkap pelibatannya dalam implementasi program, (b) tidak adanya tindak lanjut dan pendampingan, padahal kemampuan masyarakat miskin yang terbatas dalam memahami tujuan program menyebabkan banyak dari bantuan yang disalahgunakan, (c) program-program yang dilaksanakan tidak menyentuh pada akar pemasahan yang dihadapi masyarakat miskin, (d) kurang seriusnya pengelola program dalam melaksanakan setiap program secara tuntas.
Karenanya, penurut penulis konsep pemberantasan kemiskinan yang ditawarkan oleh Prof. Raja Masbar (Serambi Indonesia, 13/3/2007) patut untuk dipertimbangkan, terutama masalah identifikasi masyarakat miskin (kelompok miskin). Selain pembinaan dan pendampingan yang menyeluruh dalam membantu meningkatan ekonomi masyarakat miskin.
Memang bukan hal yang mudah dalam mengidentifikasi masyarakat yang benar-benar miskin. Sebagai contoh, pada saat pendaftaran penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) banyak masyarakat yang “mendaftarkan diri” menjadi kelompok miskin, sementara pada saat yang lain masyarakat akan merasa risih dan marah dikatakan miskin. Contoh lain, baru-baru ini penulis meneliti tentang pengeluaran konsumsi. Hasilnya penulis menemukan bahwa kalau melihat ukuran dari pengeluaran konsumsi, akan sangat sulit untuk menjumpai masyarakat miskin yang berada di bawah ‘garis kemiskinan’ sebagaimana yang disyaratkan BPS yaitu Rp. 108.725 untuk masyarakat desa, dan Rp. 143.355 untuk masyarakat kota.
Cukupkah pengeluaran per kapita sebesar syarat BPS tersebut? Inilah yang menjadi polemik, walau bagaimanapun pengeluaran sebagaimana syarat BPS tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan “paling dasar” bahkan di bawah basic need. Lalu? Kenyataan dilapangan bahwa rata-rata pengeluaran konsumsi masyarakat miskin (kasus: Aceh Utara) hampir semuanya berada di atas garis kemiskinan BPS. Apakah artinya masyarakat Aceh Utara tidak ada yang miskin? Padahal berdasarkan laporan dari pihak berkompeten bahwa Aceh Utara menduduki peringkat pertama sebagai daerah yang penduduknya miskin. Lalu? Kalau penulis berkesimpulan bahwa kemiskinan yang terjadi (di Aceh Utara) dan kemungkinan juga di daerah-daerah lain adalah fenomena dari kemiskinan relatif (relative proverty), hanya dalam persentasi sangat kecil yang berada dalam kategori kemiskinan absolut (absolute proverty).
Kalau demikian adanya, maka sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengatasi masalah kemiskinan di Aceh. Apalagi mengingat dana yang mengalir di Aceh saat ini (dan peluang dimasa depan) sangat besar. Pada saat ini, bagaimana upaya memaksimumkan peran BRR dan NGO dalam upaya meningkatkan kapasitas produksi, menciptakan dan memperluas lapangan kerja dan yang paling penting dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemberantasan kemiskinan tidak hanya dalam jangka pendek tetapi bagaimana usaha pembangunan bisa bersifat jangka panjang.
Salah satu langkah (program) yang dilaksanakan oleh BRR dan juga beberapa NGO yang meluncurkan program Aceh Microfinance (AMF) sudah cukup tepat, hanya saja dalam implementasi dari program harus ada pendampingan kepada masyarakat sasaran, dan kontrol sosial dari semua elemen. Walaupun kesannya terlambat bagi BRR dalam program ini, kita patut mengacungkan jempol kepada beberapa NGO seperti Dompet Duafa, MercyCorps Aceh, Alianz Life yang bekerjasama dengan GTZ, juga masih banyak NGO lain yang intens dalam hal Aceh microfinance, bahkan sebenarnya BRR sendiri juga telah melakukan launching program ini. Namun demikian, bahwa microfinance ini bukanlah masalah kecil dan jangka pendek, melainkan program yang besar yang relevan dan diharapkan akan terus ada dalam jangka panjang
Strategi pengentasan yang dikemukakan oleh Sofyan Syahnur (Serambi Indonesia, 24/3/2007) yaitu indentifikasi, pembangunan sarana publik, dan implementasi kebijakan dan penegakan hukum. Menurut penulis sifat komprehensif dan akuntabel dalam pengelolaan pembangunan dan pemberantasan kemiskinan sangat diperlukan. Keberpihan pembangunan kepada masyarakat kecil yang berada di tiga cluster; pesisir, pedalaman, mapun perkotaan mutlak diperlukan. Selain itu juga komitmen kuat dari elemen-elemen yang terlibat (seperti pemerintah daerah, ulama, akademisi, maupun masyarakat), efisiensi pengelolaan keuangan, pemerataan pembangunan dan distribusi pendapatan, dan penegakan hukum.
Salah satu contoh keberhasilan pembangunan ekonomi yang mengakar pada masyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Yunus dari Banglades dengan mengandalkan Grameen Bank telah berhasil membangun ekonomi masyarakat Banglades dari tingkat yang paling rendah. Keberhasilan yang mereka capai sepatutnya dijadikan rujukan dalam pembangunan dan pemberantasan kemiskinan di Aceh.
Penulis adalah Mahasiswa SPS-USU
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
Email: anwar1askari@yahoo.com/khairil.mj@unimal.ac.id
Wednesday, April 18, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment